Kamis, 27 Februari 2014

Manipulasi Sejarah, Mereka Menodong Bung Karno



Catatan Hitam Putih Sejarah Indonesia. Ternyata intimidasi tak hanya dilayangkan dari atasan kepada bawahan, tapi juga dari bawahan kepada atasan. Soekarno sebagai Bapak Bangsa Indonesia pun tak lepas dari jerat pengintimidasian. Semasa hidupnya ia sering dikebiri oleh bahkan orang yang berada di bawahannya dalam strata kekuasaan. Yang tentunya mendapatkan legitimasi dari ”pemain utama” bidak catur politik tingkat tinggi. 

Negara-negara maju. Dalam buku ini Wilardjito, seorang pengawal Presiden, menguak apa yang ”sebenarnya” terjadi seputar lengsernya Soekarno dari tahta mahkotanya. Sebagai pelaku sejarah, tak bisa dipungkiri, ia paham betul dengan kondisi saat itu. Maka setiap kata yang dituliskan adalah sisi lain sejarah yang selama ini mendekam dalam ingatan. Hingga ia tak mampu membendungnya lagi. Karena ”kebenaran” tak bisa disembunyikan. 

Serapat apa pun disimpan. Seketat apa pun ia dipertahankan untuk tidak diketahui oleh khalayak publik. Lewat buah ”nostalgia”nya ini ia meriwayatkan sebuah ”kisah”. Yang sudah barang tentu tak bisa lepas dari subjektifitasnya sebagai penulis. Justru, inilah nilai lebih buku ini. Jika buku-buku sejarah lainnya diramu berdasarkan kesaksian banyak orang, buku ini menunjukkan pada kita bahwa saksi tunggal bisa dijadikan patokan untuk—paling tidak–menilai satu ”kebenaran” yang tak jarang dipermainkan dengan sekehendak peramu sejarah. 

Manipulasi Sejarah
Sebagai negara yang menginginkan kemajuan berpihak kepadanya, Indonesia merasa bosan untuk terus menjadi negara jajahan. Kemerdekaan merupakan tujuan utama yang dielu-elukan oleh tiap warga. Oleh karenanya, meskipun tanpa persetujuan Belanda, dalam hal ini Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 27 Desember 1949, tetapi Soekarno memplokamirkan kemerdekaan negeri ini pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Selang beberapa kemudian, muncul isu tentang pembubaran PKI yang diindikasi membujuk Soekarno menolak saran Belanda agar Indonesia dijadikan negara federal. Dari sinilah skandal manipulasi sejarah mulai dibeberkan. Secara tak sengaja, Wilardjito melihat tayangan film dokumenter. Sontak ia berceletuk; ”Wah ngapusi” (menipu). 

Selanjutnya ia berkata: ”…kukatakan begitu, pertama-tama karena ketika serangan 1 Maret 1949 itu aku ikut perang, nyatanya gambarku tidak ada. Kedua yang mondar-mandir di sepanjang jalan Malioboro itu Kapten Latief, bukan Harto. Ketiga yang diperintahkan supaya menduduki stasiun Tugu pasukanku dan diperintah langsung itu aku. Itu juga tak ada gambarnya…”. Inilah pembelaan yang dilancarkan Wilardjito. 

Menurutnya, dalam film tersebut yang dijadikan ”tokoh utama” hanyalah Soeharto. Landasan berpikirnya, pertama; serangan 1 Maret 1949 bukanlah inisiatif Soeharto melainkan Sultan HB IX. Kedua; yang selalu ditampilkan hanya Soeharto mulai inisiator sampai pelaksana. Padahal sepengetahuan Wilardjito, saat pertempuran berlangsung Soeharto malah nongkrong di arung sate Kadipiro. 

Membaca buku ini, Anda benar-benar dikuakkan sejarah baru dalam narasi yang memiliki nilai ke-intiman yang lebih. Ditulis dengan gaya dongeng yang khas pembaca tak dituntut untuk menghafal kapan satu kejadian terjadi, melainkan digiring untuk mengenali runtutan kronologis yang lebih mengena. Seakan membaca sebuah novel. 

Penentangan terhadap kiprah kepemimpinan Soekarno kian berhembus kencang saat CIA tak terima dengan sikap Presiden pertama ini yang dinilai ekstrimis, tak menerima tawaran Belanda tadi. Gendang perlawanan segera ditabuh Amerika dan Belanda. Terbukti setelah PKI dihancurkan, Soekarno-Hatta ditawan Belanda di pulau Bangka. 

Sepak terjang penjegalan terhadap kekuasaan Soekarno kian kentara, dan dilakukan secara terang-terangan sekaligus blak-blakan. Salah satu kejadian yang bisa saya ajukan sebagai sebuah tindakan ”anarkis” yang janggal antara lain; keterpaksaan Soekarno dalam penandatanganan surat perintah yang tertanggal 11 Maret 1966 dan naskah pembubaran PKI. Dalam keterangannya, Wilardjito menyebutkan kejanggalan yang tampak adalah surat tersebut kertas dan kop suratnya bukan kertas dan kop kepresidenan, tetapi kemiliteran. 

Parahnya, ketika hendak menolak menandatangani diktum tersebut Soekarno malah mendapat jawaban tak mengenakkan dari Basoeki Rachmat: ”Untuk merubah waktunya sudah sangat sempit. Tandatangani sajalah, paduka. Bismillah.” 

Kita akan terkaget-kaget setelah M Panggabean mencabut pistolnya di tengah persitegangan tadi. Karena merasa nyawanya terancam Soekarno terpaksa menandatangani diktum tersebut. Ini bisa disimak dari ucapan berikut ini; ”Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku.” 

Pertanyaan yang muncul sekarang ini masihkah praktik tak terpuji tersebut masih dibudayakan. Jika intimidasi semacam itu masih dilakukan, mengapa kekuasaan selalu diperebutkan tiap tahunnya. Melihat kenyataan ini kita sepatutnya bertanya sudah dewasakah nalar ”berpolitik” yang dilaksanakan selama ini?

Sahabat anehdankonyol.com Dapatkan cerita selengkapnya kisah kesaksian mantan pengawal Presiden Soekarno ini dengan Referensi Buku : 

Judul      : Mereka Menodong Bung Karno; Kesaksian Seorang Pengawal Presiden 
Penulis   : Soekardjo Wilardjito 
Penerbit : Galang Press, Yogyakarta 
Cetakan : I, 2008 
Tebal : 354 halaman 

Related Posts

Manipulasi Sejarah, Mereka Menodong Bung Karno
4/ 5
Oleh